Beberapa pekan lalu, Badan Meteorologi Inggris memberitakan bahwa hingga akhir abad ini temperatur di Inggris bisa mencapai 46 derajat Celsius. Suhu yang sama juga dialami oleh warga Kuwait di Timur Tengah. "Hingga tahun 2100, gelombang panas juga akan terjadi di Inggris setiap tahun, atau beberapa kali dalam setahun," demikian menurut Badan Meteorologi Inggris. Fenomena kenaikan suhu ini telah membuat khawatir para pengamat lingkungan hidup. Data menunjukkan bahwa akhir-akhir ini suhu bumi telah naik antara 2 hingga 5 derajat Celsius. Angka ini terlihat kecil dan tidak ada artinya. Namun sesungguhnya, ada bahaya besar yang tengah mengancam bumi.
Para peneliti masalah lingkungan hidup menyatakan, kenaikan suhu bumi meski hanya sebesar 2 derajat celsius, bisa menyebabkan produksi pertanian di dunia menurun hingga seperempatnya. Bisa dibayangkan, semakin panas suhu bumi, akan semakin berkurang pula produksi pangan. Dalam kondisi seperti ini, hanya orang-orang kaya yang bisa memperoleh makanan sementara orang-orang miskin akan kelaparan. Akibatnya bahaya kelaparan massal akan melanda bumi. Salah satu penyebab utama naiknya suhu bumi adalah menipisnya lapisan ozon.
Pada tahun 1985, para peneliti lingkungan hidup menemukan bahwa lapisan ozon telah berlobang dan setelah melakukan penelitian, mereka menyimpulkan bhwa berlubangnya lapisan ozon ini disebabkan oleh terlalu banyaknya gas CFC (chloro-fluoro-carbon) di udara. Gas CFC yang berkumpul di bagian atas atmosfer akan berinteraksi dengan pantulan cahaya matahari sehingga merusak lapisan ozon. Padahal, lapisan ozon bagaikan penyaring atau peneduh raksasa, yang melindungi tanaman, hewan, termasuk manusia dari radiasi ultraviolet B (UV-B) berbahaya yang dipancarkan matahari ke permukaan bumi.
Radiasi langsung ultraviolet UV-B adalah radiasi yang mematikan dan berbahaya. Lapisan ozon menyaring kira-kira 70-90 persen bagian ultra-violet yang tidak terlalu merusak. Akibat radiasi ultraviolet UV-B respon kekebalan tubuh manusia akan berkurang sehingga timbul penyakit kulit, campak, chicken pox, herpes, malaria, leishamaniasis, TBC, kusta, dan infeksi jamur, seperti candidiasis. Selain itu, radiasi UV-B juga menimbulkan kerusakan lingkungan, mulai dari putusnya rantai makanan pada ekosistem akuatik di laut sampai menurunnya produktivitas tanaman, selain kerusakan material pada bangunan dan benda-benda lainnya yang terbakar sinar matahari.
Pada tahun 1987, yaitu dua tahun setelah ditemukannya lobang ozon untuk pertama kali, ditandatanganilah Protokol Montreal. Dalam protokol tersebut disetujui pembekuan produksi CFC pada 1986 dan penurunan produksi secara bertahap sampai tahun 2000. Namun, protokol ini tidak banyak berpengaruh karena umat manusia masih terus memrpodksi gas CFC. Akibatnya, saat ini, lobang ozon telah membesar hingga ukurannya lebih luas dari benua Amerika.
Karena itulah, dewasa ini berbagai lembaga di dunia melakukan langkah-langkah untuk mengurangi produksi gas CFC. Antara lain, bisa kita lihat usaha yang dilakukan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Kalimantan bersama United National Devlopment Programme (UNDP). Kedua lembaga itu baru-baru ini menandatangani kontrak kerjasama dengan pemerintah daerah Kalimantan untuk bersama-sama melindungi menipisnya lapisan ozon itu.
Salah satu program yang dicanangkan oleh kedua lembaga itu adalah program penghapusan choloro fluoro carbon (CFC) di sektor peralatan pendingin. Program ini dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan dan bantuan kepada bengkel-bengkel servis peralatan pendingin, agar dapat mengelola CFC. Bengkel-bengkel servis peralatan pendingin akan diberi bantuan alat berupa tabung penyedot CFC agar tidak terlepas ke udara.
Meski usaha tersebut positif, namun secara umum, penggunan CFC di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut penelitian Yayasan Konsumen Indonesia, pada tahun 1991, misalnya, penggunaan CFC di Indonesia antara lain untuk kasur busa, kosmetika, pestisida rumah tangga, pelarut dan pembersih, AC, lemari es dan pendingin. Data menunjukkan bahwa penggunaan CFC di Indonesia makin meningkat tiap tahun, yaitu rata-rata sebesar 16,6% setiap tahunnya.
Apabila proses pemanasan global akibat menipisnya lapisan ozon ini terus dibiarkan, selain kerugian dari sisi kesehatan, umat manusia juga akan mengalami kerugian materil. Diperkirakan, dalam satu dekade ke depan kerugian yang akan diderita umat manusia mencapai 7 triliun US$, atau sekitar Rp 63.000 triliun, jika pemerintahan di seluruh dunia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mencegah pemanasan global ini. Hitung-hitungan kerugian ekonomi akibat pemanasan global itu dilansir oleh Sir Nicholas Stern, mantan Ketua Ahli Ekonomi Bank Dunia setelah melakukan penelitian mengenai masalah ini. Untuk itu, Stern, mengingatkan agar dunia menggalang kerja sama internasional dalam upaya mencegah dampak buruk pemanasan global ini.
Paul Newman, seorang peneliti dari NASA menyatakan, jika dunia mulai hari ini bersama-sama berupaya menghentikan produksi gas CFC, pada tahun 2020 hingga 2025, lobang ozon akan mulai mengecil dan dalam 70 tahun sesudahnya, lobang ozon itu akan tertutup kembali. Tentu saja, prediksi ini hanya bisa menjadi kenyataan bila umat manusia sedunia, terutama kalangan industri, memiliki kesadaran untuk bersama-sama menjaga keselamatan lingkungan hidup demi kelangsungan hidup umat manusia. Kita bisa memulai dari rumah kita sendiri, yaitu hemat energi dan selalu menggunakan peralatan-peralatan rumahtangga yang bebas CFC.
Sumber : http://lumajang.net/?ars=180
HOW TO RESPOND TO THE “TELL ME TO YOUR READING LIFE” QUESTION
5 tahun yang lalu
No Response to "Menipisnya Lapisan Ozon, Ancaman Bagi Umat Manusia"
Posting Komentar