Etika Bisnis dan Bisnis Beretika


Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh.
Sebelum melakukan percobaan, Morgan melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa.
Hasilnya ternyata sungguh di luar dugaan. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stress dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitas mereka. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18%.
Lebih buruk lagi, untuk menghilangkan penambahan bobot sebesar 20 pon tersebut diperlukan waktu selama 5 bulan, dan 9 bulan lagi untuk menghilangkan sisanya. Pendek kata, kesalahan yang dilakukan hanya selama 1 bulan (baca: buying nothing but junk food) harus ditebus dengan pengorbanan selama beberapa bulan lamanya.
Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock. Selain mengisahkan tentang percobaan nekat yang dilakukan Morgan, ada beberapa hal menarik yang diungkap juga dalam film tersebut. Beberapa di antaranya:
  • Amerika nggak cuma mempunyai gedung-gedung tinggi, mobil yang pajang, tetapi juga orang-orang “besar.” Sekitar 60% penduduk Amerika diyakini mengalami obesitas, dengan konsentrasi Detroit dan Houston (Texas).
  • Gaya hidup dan makanan yang keliru tidak hanya dibayar dengan duit, tetapi juga harus ditebus dengan kondisi tubuh, kesehatan, dan risiko kematian.
  • Dalam suatu percobaan, ditunjukkan beberapa gambar tokoh (termasuk George Washington dan Jesus Christ) kepada beberapa anak. Tidak banyak anak yang bisa menebak. Mereka semua baru bisa menebak dengan tepat ketika disodori gambar badut Ronald McDonald.
  • Industri junk food telah berkembang dengan sangat pesat. Sebuah perusahaan fast food ternama, dalam 1 hari bisa melayani 46 juta orang; melebihi jumlah penduduk Spanyol.
  • Lebih parah lagi, junk food juga digalakkan melalui school lunch program.

CSR dan Keputusan Investasi di Pasar Modal


Akhir-akhir ini topik mengenai Tanggung Jawab Sosial Korporat atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) semakin banyak dibahas di dunia maupun Indonesia. Perkembangan CSR juga terkait dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun dunia,
mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim. Sejalan dengan perkembangan tersebut, Undang-Undang No. 40 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Undang-Undang tersebut juga mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab tersebut di Laporan Tahunan. Adanya pelaporan tersebut merupakan pencerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat menilai pelaksanaan kegiatan tersebut.
Bagi para investor di pasar modal, terutama mereka yang mempunyai horizon investasi jangka panjang, laporan CSR dapat digunakan sebagai salah satu sumber untuk menentukan keputusan investasi di saham. Laporan tersebut bermanfaat untuk mengidentifikasi perusahaan yang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap CSR. Perusahaan yang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap CSR akan diapresiasi oleh masyarakat sehingga reputasi perusahaan akan meningkat. Reputasi yang baik akan lebih memudahkan perusahaan menjalankan bisnisnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangannya, yang kemudian tercermin di harga saham yang terus meningkat. Sejumlah studi di dalam dan di luar negeri memang menemukan terdapat hubungan positif antara tingkat pelaksanaan CSR dengan harga saham.
Kecenderungan investor untuk mempertimbangkan kegiatan CSR dalam keputusan investasi di saham memang semakin marak, khususnya di negara-negara maju. Istilah yang digunakan adalah ‘Socially Responsible Investing’, yaitu investor hanya melakukan investasi di saham dari perusahaan yang melaksanakan CSR, termasuk di antaranya melakukan upaya pelestarian lingkungan. Untuk itu, investor memerlukan laporan kegiatan CSR perusahaan yang obyektif dan mencerminkan akuntabilitas perusahaan terhadap kegiatan ini.
Sayangnya, berbagai studi di Indonesia menemukan bahwa hingga kini tingkat pelaporan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih relatif rendah. Selain itu, apa yang dilaporkan dan diungkapkan sangat beragam, sehingga menyulitkan pembaca laporan tahunan untuk melakukan evaluasi. Pada umumnya informasi yang diungkapkan hanyalah yang bersifat positif mengenai perusahaan; sehingga laporan tersebut pada akhirnya hanya merupakan alat public relation perusahaan dan bukan sebagai bentuk akuntabilitas perusahaan ke publik.
Berikut disampaikan beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tingkat dan kualitas pelaporan CSR di Indonesia, sehingga tercapai akuntabilitas kegiatan CSR perusahaan. Pertama, karena Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas telah diberlakukan, maka perlu segera disiapkan aturan lanjutan yang secara eksplisit menjelaskan:
  • Sektor usaha yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
  • Kapan perusahaan dapat dinyatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya sehingga tidak perlu dikenakan sanksi,
  • Cakupan laporan tanggung jawab sosial yang perlu disampaikan perusahaan.
Selain itu, sebaiknya laporan CSR perusahaan berskala besar dan usahanya terkait dengan sumber daya alam dapat diakses oleh publik dan perusahaan tersebut didorong agar laporannya diaudit oleh pihak eksternal yang independen. Kedua, perlu dikembangkan standar pelaporan CSR yang berlaku global dan dapat mengikhtiarkan efektivitas kegiatan CSR perusahaan sehingga dapat dijadikan acuan perusahaan di berbagai negara dalam menyiapkan laporan CSR. Ketiga, untuk memastikan obyektivitas laporan CSR, standar audit/assurance terhadap laporan CSR yang diterima umum perlu segera disiapkan.
Keempat, perusahaan perlu didorong (melalui regulasi pemerintah atau asosiasi industri) untuk mengubah sistem governance yang akomodatif terhadap pelaksanaan dan pelaporan kegiatan CSR perusahaan. Misalnya, sistem remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi didorong untuk mendasarkan besarnya remunerasi tidak hanya pada kinerja keuangan tetapi juga pada indikator kinerja CSR perusahaan. Kelima, perlu terus ditumbuhkan kesadaran publik atas pentingnya pembangunan berkelanjutan dan bahwa kesejahteraan sosial dan pelestarian sosial adalah tanggung jawab bersama. Dengan dilaksanakannya berbagai tindakan tersebut, maka investor dapat mengandalkan laporan CSR sebagai salah satu sumber dalam keputusan investasi di pasar modal.
  

Perlunya Berbisnis Dengan Etika


Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.
Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Kita Sebagai Pebisnis

Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.
Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.
Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.
Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.
Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.

Kita Sebagai Konsumen

Ini yang lebih penting.
Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen.
Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas.
Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan.
Maka tak perlu heran jika di jaman sekarang seorang anak kecil akan lebih faham kosakata “starbucks”, “breadtalk”, “orchard road”, “gucci”, daripada kosakata lain seperti “gudeg”, “bunaken”, “senggigi”, “ketoprak”, dan sebagainya. Kita secara tidak sadar mengkiblatkan diri pada produk/jasa yang sebenarnya tidak terlalu bagus — melainkan karena praktik pemasaran dan operasional bisnis yang seringkali melanggar batas-batas etika.
Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri.
Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all.
Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada.


Etika Bisnis dalam Islam

Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.

DIKOTOMI MORAL DAN BISNIS
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang  Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics", Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quality Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.

Kecenderungan Baru
Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak sesuai etika, 2. Mempertinggi keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4. Pemberdayaan kreatifitas manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis.

Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.