Oleh : Dominggus A Mampioper | 11-Aug-2009, 20:37:52 WIB
KabarIndonesia - Ada gula, ada semut. Agaknya pepatah ini yang pantas disandang oleh PT Freeport Indonesia salah satu perusahaan di Papua yang memiliki areal lahan terluas. Lahan tersebut untuk mengelola tambang tembaga dan emas di Grasberg atau dalam bahasa Amungme disebut Gunung Tenogome.
Demam emas di Sungai Laloki sekitar 10 mil dari Port Moresby di negara tetangga Papua New Guinea pada 1878 telah menjadi inspirasi bagi tim ekspedisi di dunia, ternyata gunung-gunung di Provinsi Papua juga mengandung emas. Inspirasi ini yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspeisi kepada Forbes Wilson dan kawan-kawan serta tokoh Amungme yang turut menemani mereka yaitu Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg.
Kepada penulis Moses Kilangin pernah bercerita, ”kami bawa contoh batuan dari Gunung Erstberg untuk diteliti kandungan emas, tembaga dan perak.” Selanjutnya Pemerintah Indonesia bersama Freeport Internasional melanjutkan negosiasi dan menuai hasil yang menakjubkan. Sedangkan kontrak karya pertama (KK) antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan pada 1967, bagi orang Papua dianggap aneh. Pasalnya saat itu status tanah Papua masih belum jelas sebab dilakukan sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of Choice. Waktu itu pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967 untuk merespon keinginan PT Freeport.
Maret 1967, PT Freeport Indonesia Incorporate (FII) perusahaan yang dibentuk oleh Freeport Internasional, yang diwakili oleh Forbes Wilson menanda tangani Kontrak Karya untuk usaha penambangan di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya di Gunung Erstberg atau dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel.
Pada 5 April 1967 Menteri Pertambangan RI Slamet Branata dan Perwakilan Freeport menandatangani Kontrak Karya pertama selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg. Kini gunung Erstberg sudah berubah menjadi lubang raksasa yang kemudian diberi nama ”Danau Wilson.” Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada tuan Forbes Wilson.
Ini jelas proses di mana negara tidak pernah mengakui masyarakat adat (MA) sebab Pemerintah Indonesia telah melahirkan kontrak karya pertambangan bagi PT Freeport Indonesia di Papua. ”Sejak awal negara tidak mengakui masyarakat adat,” tegas Jerry peserta dari Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel Sentani Indah belum lama ini. Padahal bagi suku suku dipedalaman Papua untuk memperoleh lahan yang luas biasanya tak gampang diperoleh. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Tak mungkin engkau menjual mama yang selalu memelihara dan merawat engkau.
Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis saja, tetapi juga sangat bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan sehari hari.
Bayangkan sejak ekspedisi pertama hingga masuknya Forbes Wilson dan kawan kawan pada 1960 masyarakat Suku Amungme dan Kamoro ikut berpartisipasi dalam menunjang ekspedisi. Bahkan Mozes Kilangin bersama Forbes Wilson turut berperan dalam menunjuk jalan menuju gunung Ertsberg. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan di Kokonao hingga permukiman baru di Akimuga tanpa ada perlawanan atau pun unsur pemaksaan. Apalagi rekayasa sebagaimana lazimnya terjadi pada era orang Papua masuk ke alam kemerdekaan di dalam Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh Amungme Guru Mozes Kilangin Tenbak pernah berujar, ”Kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika. Ya mendiang Mozes Kilangin benar. Semua orang berduyun duyun datang ke PT Freeport Ind di Timika. Ada yang sebagai pekerja dan buruh kontrakan tetapi ada pula yang datang untuk jaga keamanan dan ketertiban di tambang raksasa milik suku Amerika Serikat di New Orleans.
Freeport di tanah Papua ibarat gula dan banyak semut yang berdatangan untuk menikmatinya. Tak heran kalau salah satu tokoh Amungme almarhum Tuarek Narkime pernah menuangkan rasa pedihnya sebagai berikut,” Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah dan kaya dengan sumber daya mineral itu yang menarik Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita? Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus-menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki-tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami. Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini. (Tuarek Narkime, 1994).
Memang benar pergumulan dan kemarahan warga Amungme telah melahirkan beberapa perjanjian mulai dari Januari Agreement 1974 hingga pemberian dana satu persen. Termasuk pembentukan Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana satu persen yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun mengapa persoalan di seputar tambang milik suku Amerika Serikat dari New Orleans tak kunjung selesai. Selalu saja masih ada mulai dari konflik Perang Suku, penembakan yang menewaskan warga AS dan sekarang juga menewaskan warga Australis. Bahkan selama beberapa hari masih terjadi penembakan yang dilakukan kelompok tak dikenal atau invisible hand.
Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri heran sebab aparat Polisi Republik Indonesia sedang melakukan penyidikan sudah ada tuduhan yang melakukan penembakan adalah pihak OPM. ”Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri kepada penulis belum lama ini. Bahkan Gubernur Suebu sendiri menegaskan peristiwa di sana jelas bukan masyarakat sipil yang melakukan. ”Apalagi masyarakat di sana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan sumber daya mereka,” tutur Suebu. Belakangan tuduhan dan pemberitaan pers lebih banyak diarahkan kepada penembak tak dikenal. Namun yang jelas sampai kapan konflik di seputar tambang terbesar di Papua ini akan tuntas? Sulit memang untuk memprediksi tapi yang jelas sesuai pepatah lama Ada Gula sudah pasti ada semut.
Persoalannya adalah tidak semua semut-semut baik semut merah, hitam dan semut api tidak kebagian gula. Bagaimana agar gula gula di sekitar tambang bisa dinikmati secara merata agar tidak ada lagi konflik-konflik di seputar lahan tambang di Papua ini. Andaikata program program kesejahteraan sosial dari PT FI masih bersifat instant dan hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran atau meminjam pendapat Prof Dr Karel M Sesa, ”gula gula itu hanya bersifat sebagai manisan”.
Tentunya semua persoalan di sana tidak akan tuntas diselesaikan. Walau memang tugas dan tanggung jawab bagi kesejahteraan jelas bukan wewenang PT Freeport semata tetapi pemerintah baik di Jakarta, Papua dan Mimika. Lalu bagaimana pula dengan program pengendalian dampak lingkungan hidup setelah pasca tambang? Secara kasat mata saja bisa dilihat program jangka pendek tentang penanggulangan tailing atau untuk lebih halus disebut ”pasir sisa tambang”. Model pembuangan tailing lebih gampang dan murah kalau dibuang lewat sungai. Jadi sungai berfungsi mengalirkan air, menampung dan mengendapkan tailing. Namun semakin lama dampak tailing akan merusak dan mencemari kesehatan masyarakat di dataran rendah terutama masyarakat Kamoro dan Sempan.
Kini masyarakat setempat akan menanggung semua resiko baik dampak lingkungan mau pun dampak sosial akibat perubahan perubahan modernisasi yang keliru.
KabarIndonesia - Ada gula, ada semut. Agaknya pepatah ini yang pantas disandang oleh PT Freeport Indonesia salah satu perusahaan di Papua yang memiliki areal lahan terluas. Lahan tersebut untuk mengelola tambang tembaga dan emas di Grasberg atau dalam bahasa Amungme disebut Gunung Tenogome.
Demam emas di Sungai Laloki sekitar 10 mil dari Port Moresby di negara tetangga Papua New Guinea pada 1878 telah menjadi inspirasi bagi tim ekspedisi di dunia, ternyata gunung-gunung di Provinsi Papua juga mengandung emas. Inspirasi ini yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspeisi kepada Forbes Wilson dan kawan-kawan serta tokoh Amungme yang turut menemani mereka yaitu Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg.
Kepada penulis Moses Kilangin pernah bercerita, ”kami bawa contoh batuan dari Gunung Erstberg untuk diteliti kandungan emas, tembaga dan perak.” Selanjutnya Pemerintah Indonesia bersama Freeport Internasional melanjutkan negosiasi dan menuai hasil yang menakjubkan. Sedangkan kontrak karya pertama (KK) antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan pada 1967, bagi orang Papua dianggap aneh. Pasalnya saat itu status tanah Papua masih belum jelas sebab dilakukan sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of Choice. Waktu itu pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967 untuk merespon keinginan PT Freeport.
Maret 1967, PT Freeport Indonesia Incorporate (FII) perusahaan yang dibentuk oleh Freeport Internasional, yang diwakili oleh Forbes Wilson menanda tangani Kontrak Karya untuk usaha penambangan di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya di Gunung Erstberg atau dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel.
Pada 5 April 1967 Menteri Pertambangan RI Slamet Branata dan Perwakilan Freeport menandatangani Kontrak Karya pertama selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg. Kini gunung Erstberg sudah berubah menjadi lubang raksasa yang kemudian diberi nama ”Danau Wilson.” Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada tuan Forbes Wilson.
Ini jelas proses di mana negara tidak pernah mengakui masyarakat adat (MA) sebab Pemerintah Indonesia telah melahirkan kontrak karya pertambangan bagi PT Freeport Indonesia di Papua. ”Sejak awal negara tidak mengakui masyarakat adat,” tegas Jerry peserta dari Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel Sentani Indah belum lama ini. Padahal bagi suku suku dipedalaman Papua untuk memperoleh lahan yang luas biasanya tak gampang diperoleh. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Tak mungkin engkau menjual mama yang selalu memelihara dan merawat engkau.
Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis saja, tetapi juga sangat bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan sehari hari.
Bayangkan sejak ekspedisi pertama hingga masuknya Forbes Wilson dan kawan kawan pada 1960 masyarakat Suku Amungme dan Kamoro ikut berpartisipasi dalam menunjang ekspedisi. Bahkan Mozes Kilangin bersama Forbes Wilson turut berperan dalam menunjuk jalan menuju gunung Ertsberg. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan di Kokonao hingga permukiman baru di Akimuga tanpa ada perlawanan atau pun unsur pemaksaan. Apalagi rekayasa sebagaimana lazimnya terjadi pada era orang Papua masuk ke alam kemerdekaan di dalam Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh Amungme Guru Mozes Kilangin Tenbak pernah berujar, ”Kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika. Ya mendiang Mozes Kilangin benar. Semua orang berduyun duyun datang ke PT Freeport Ind di Timika. Ada yang sebagai pekerja dan buruh kontrakan tetapi ada pula yang datang untuk jaga keamanan dan ketertiban di tambang raksasa milik suku Amerika Serikat di New Orleans.
Freeport di tanah Papua ibarat gula dan banyak semut yang berdatangan untuk menikmatinya. Tak heran kalau salah satu tokoh Amungme almarhum Tuarek Narkime pernah menuangkan rasa pedihnya sebagai berikut,” Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah dan kaya dengan sumber daya mineral itu yang menarik Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita? Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus-menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki-tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami. Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini. (Tuarek Narkime, 1994).
Memang benar pergumulan dan kemarahan warga Amungme telah melahirkan beberapa perjanjian mulai dari Januari Agreement 1974 hingga pemberian dana satu persen. Termasuk pembentukan Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana satu persen yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun mengapa persoalan di seputar tambang milik suku Amerika Serikat dari New Orleans tak kunjung selesai. Selalu saja masih ada mulai dari konflik Perang Suku, penembakan yang menewaskan warga AS dan sekarang juga menewaskan warga Australis. Bahkan selama beberapa hari masih terjadi penembakan yang dilakukan kelompok tak dikenal atau invisible hand.
Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri heran sebab aparat Polisi Republik Indonesia sedang melakukan penyidikan sudah ada tuduhan yang melakukan penembakan adalah pihak OPM. ”Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri kepada penulis belum lama ini. Bahkan Gubernur Suebu sendiri menegaskan peristiwa di sana jelas bukan masyarakat sipil yang melakukan. ”Apalagi masyarakat di sana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan sumber daya mereka,” tutur Suebu. Belakangan tuduhan dan pemberitaan pers lebih banyak diarahkan kepada penembak tak dikenal. Namun yang jelas sampai kapan konflik di seputar tambang terbesar di Papua ini akan tuntas? Sulit memang untuk memprediksi tapi yang jelas sesuai pepatah lama Ada Gula sudah pasti ada semut.
Persoalannya adalah tidak semua semut-semut baik semut merah, hitam dan semut api tidak kebagian gula. Bagaimana agar gula gula di sekitar tambang bisa dinikmati secara merata agar tidak ada lagi konflik-konflik di seputar lahan tambang di Papua ini. Andaikata program program kesejahteraan sosial dari PT FI masih bersifat instant dan hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran atau meminjam pendapat Prof Dr Karel M Sesa, ”gula gula itu hanya bersifat sebagai manisan”.
Tentunya semua persoalan di sana tidak akan tuntas diselesaikan. Walau memang tugas dan tanggung jawab bagi kesejahteraan jelas bukan wewenang PT Freeport semata tetapi pemerintah baik di Jakarta, Papua dan Mimika. Lalu bagaimana pula dengan program pengendalian dampak lingkungan hidup setelah pasca tambang? Secara kasat mata saja bisa dilihat program jangka pendek tentang penanggulangan tailing atau untuk lebih halus disebut ”pasir sisa tambang”. Model pembuangan tailing lebih gampang dan murah kalau dibuang lewat sungai. Jadi sungai berfungsi mengalirkan air, menampung dan mengendapkan tailing. Namun semakin lama dampak tailing akan merusak dan mencemari kesehatan masyarakat di dataran rendah terutama masyarakat Kamoro dan Sempan.
Kini masyarakat setempat akan menanggung semua resiko baik dampak lingkungan mau pun dampak sosial akibat perubahan perubahan modernisasi yang keliru.
Sumber :
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=PT+Freeport+Indonesia+dan+Konflik+Konflik+Sosial+di+Papua&dn=20090811170157
No Response to "PT Freeport Indonesia dan Konflik Konflik Sosial di Papua"
Posting Komentar